Awal bulan Juni. Daun-daun semakin enggan berada pada tangkai
pohonnya. Membantingkan diri ke tanah agar dapat menyatu dengan senyawa yang
ada. Gugusan atom menembus waktu dan ruang menuju kekosongan agar tetap
seimbang menggantikan segala sesuatu yang berpindah. Angin serasa berlomba
untuk menjatuhkan dedaunan dan juga membelai rambut seorang gadis yang tepat
berada di bawah pohon mangga. Rambutnya yang hitam sepinggang berterbangan
mengikuti lari sang bayu. Berkali-kali berusaha merapikan namun tetap saja
diacak-acak kembali oleh angin yang menggelitik. Gadis itu merasa tentram diayun sebuah ban bekas
yang diikatkan oleh sebuah tali tambang lusuh. Senja itu begitu indah. Sama
dengan senja-senja sebelumnya. Hanya waktu dan alam yang membedakannya. Ayunan
pun terhenti ketika seseorang menyapa dengan segala kasih sayangnya.
“Assalamu’alaikum, kakak pulang!”
Suara itu terdengar dari dalam rumah, sedang gadis itu berada
di halaman belakang bersama ayunannya. Mendengar suara itu, Gadis itu segera
berlari menghampiri sumber suara. Terlihat sosok laki-laki tegap dan tinggi di
ruang kecil yang biasa disebut oleh gadis dan kakaknya itu sebagai dapur. Ia
menaruh beberapa sayuran dan lauk mentah di atas meja sederhana yang terlihat
mulai rapuh.
“Ini kakak bawakan bahan masakan. Mala mini kakak ingin
mencicipi tumis kangkung buatan Dinda.”
“Kak Arial dapat darimana kangkungnya?”
“Tadi kakak minta di tempatnya Mpok Ida. Dia khan punya kolam
penuh kangkung.” ucap Arial yang bersambung dengan senyum dari adiknya Arinda.
Arial dan Adinda adalah saudara kembar identik yang hidup
berdua di sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu. Sejak 5 tahun terakhir
mereka hidup sebagai yatim piatu. Ayah dan Ibu mereka tewas dalam kecelakaan
tragis. Ibunya tewas seketika sedangkan ayahnya koma selama 1 tahun dan
akhirnya meninggal.
“Arinda, kakak mandi dulu. Kamu masak yang enak ya?”
“Siap pak bos!” sambut Arinda sambil memberi hormat layaknya
tentara.
Hidup mereka sangat pas-pasan. Setiap pagi hari Arial bekerja
sebagai loper koran, sedangkan Arinda bekerja sebagai pengantar susu dari rumah
ke rumah. Dengan beberapa bulir keringat, masing-masing dari mereka mengayuh
sepada bututnya untuk pergi ke sekolah. Pulangnya, Arial bekerja sebagai buruh
pikul di Toko Dua Warna milik Cik Nawa. Dan Arinda bekerja disebuah tempat Laundry. Dan senjanya mereka pulang
untuk sekedar melepas kesah dan saling bercengkrama.
Tak berapa lama, aroma menggoda datang dari dapur. Sungguh
memberikan gairah untuk segera mencicipinya. Arial masih asik mengayunkan
gayung berisi air di kamar mandi yang berada di luar rumahnya. Arinda pun
menyiapkan makanannya di meja ruang tamu karena tidak ada ruang makan di rumah
mereka. Rumah mereka hanya terdiri dari ruang tamu, satu kamar tidur dengan sekat
pemisah untuk Arial dan Arinda, dapur, dan satu kamar lagi untuk tempat tidur
bagi sepeda mereka, sedangkan untuk MCK-nya ada satu tempat kecil berada di
luar rumah. Hidup memang tidak semudah cerita dalam negeri dongeng. Dan mereka
selalu bersyukur atas apa yang diberikan.
Magrib telah datang. Setelah menunaikan kewajiban terhadap
Sang Pencipta, Arial dan Arinda segera menuju ruang tamu.
“Perut kakak sudah lapar.”
“Dinda sudah bisa menebaknya. Tadi saja ketika berdo’a ada
suara perut yang mulai demo meminta makan.” sambil mengangkat-angkat salah satu
sisi alisnya
Arial yang gemas pun mengacak-acak rambut kembarannya itu,
“Kau ini bisa saja.”
“Kakak! Nanti pesonaku hilang lagi.” menggembungkan pipi.
“Sudah-sudah, jangan ngambek gitu. Adik kakak tetap cantik
kok.” Merangkul bahu adiknya yang kurus itu.
Keduanya saling berbagi tawa dan canda. Makanan sederhana pun
terasa sangat istimewa bagi mereka bedua. Sungguh nikmat yang tidak terkira.
“Alhamdulillah, kenyang rasanya. Ini Hari Sabtu khan? Berarti
giliran kak Ial yang cuci piring.”
“Aku ya? Sebenarnya aku malas, tapi tak apalah. Masa abang
tega dengan eneng yang manis ini.”
“Ngga usah muji-muji! Awas aja kalau ujung-ujungnya ada
maksud tersembunyi.”
“Hhhaha. Memang benar khan? Abangnya aja ganteng, jadi
adiknya juga harus cantik.”
“Idih. Kak Ial PD-nya badai.”
“Tapi kakak perlu bantuan Din.”
“Tu khan bener! Apa?”
“Cuci piringnya bareng-bareng yuk?”
“Dasar cowok! Ya sudah sini. Tapi Dinda cuma bantu ya? Awas
aja kalau Dinda dapetnya banyak!”
“Jangan galak-galak gitu. Nanti ngga ada yang mau lho.”
“Bodo!”
Canda tawa itu terus berlanjut. Rutinitas yang menyenangkan.
Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pk 19.30. Arial pun bersiap untuk
pergi. Ketika malam, Arial bekerja di Rumah makan Ayam Bakar Babe Halim yang
berjarak 500 meter dari rumahnya. Walaupun ia masih berusia 15 tahun. Namun
tubuhnya sudah seperti anak berusia 18 tahun. Tidak akan ada yang menyangka bahwa
dia masih duduk di kelas IX SMP.
Bulan Mei yang lalu. Arial dan Arinda telah lulus dari masa
SMP-nya. Walau dengan keadaan dan waktu yang terus menghimpit, namun mereka
mampu mempersembahkan kebanggaan bagi mendiang ayah dan ibunya. Secara
berurutan Arinda mendapat peringkat pertama sedangkan Arial mendapat peringkat
kedua untuk lulusan terbaik di SMP-nya. Dari taman kanak-kanak hingga sekolah
menengah pertama mereka memang selalu bersama. Dan rencananya awal bulan Juli
ini mereka akan mendaftar di sekolah yang sama pula.
Pk 22.00 Arial pulang dengan kantung plastik di tangannya.
“Assalamu’alaikum. Dinda kakak pulang.”
“Wa’alaikumsalam. Iya sebentar kak.” berjalan menuju pintu
depan.
Pintu pun terbuka. Terlihat sosok kembar identiknya itu di
luar rumah. Merekapun duduk lesehan di ruang tamu.
“Kakak bawa apa malam ini?”
“Ini tadi dibawakan dua paha ayam dan 3 gelas beras dari
Babe.”
“Wah, ada berasnya juga?”
“Iya, kata Babe dia lagi panen. Jadi kakak dikasih beras
juga.”
“Iya, tapi lauknya juga dikurangi. Hhehe.”
“Eh, ini juga udah syukur Din.”
“Iya kakakku jelek.”
“Ganteng!”
“Iya ganteng. Tapi Dinda bohong. Hhhaha.” tertawa lebar.
“Sini biar Dinda simpan. Kakak ganti terus tidur sana!”
“Siap ibu galak.” ledek Arial sambil berlari kecil
menghindari adiknya.
“Awas ya, nanti Dinda cubit!”
Pagi tanggal 13 di bulan Juni.
“Kakak ayo berangkat! Lelet deh!” teriak Arinda dari teras
rumah.
“Iya ini juga baru pakai sepatu. Sabar dong!” sahut Arial
dari kamar.
“Dinda udah ngga sabar beli buku tulis. Nanti Dinda pilih
yang bagus ya? Khan tabungan kita lumayan banyak.”
“Tapi ingat Juli nanti pengeluaran kita juga banyak.”
“Iya sih, kakak udah dapet info belum tentang PPDB-nya?”
“Sudah.” berjalan menuju teras depan.
“Widih, kakakku keren banget.” ledek Arinda yang melihat
kakaknya sudah berada di sampingnya.
“Kapan kakakmu ini jelek? Kakak selalu terlihat ganteng
setiap saat.”
“PD badai!”
“Berangkat?”
“Berangkat pak bos. Nanti naik angkutan khan?”
“Iya, udah pamit sama Bonbon belum? Kamu ini, sepeda aja
dikasih nama.” geleng-geleng kepala.
“Biarin, sepeda kakak juga aku kasih nama kok. Namanya Tuyul.
Hhaha.”
Pagi yang indah, sinar yang malu-malu menemani perjalanan
mereka menuju kota yang sesak. Mereka hendak membeli perlengkapan guna
menyambut masa baru. Masa putih abu-abu. Arinda pun memiliki banyak rencana. Ia
ingin membeli buku, tas, dan juga sepatu baru. Sedang Arial menyerahkan
semuanya pada Arinda. Karna memang Arinda lah yang menjadi juru uangnya selama
ini. Dari toko satu ke toko berikutnya. Akhirnya setelah tiga jam lamanya
Arinda merasa puas dan cocok.
“Kakak Dinda seneng deh. Tas kita kembar khan?”
“Iya, dan untungnya warnanya beda.”
“Hhaha. Ya jelaslah! Masa kakak warna tasnya ungu kayak
punyaku?”
“Dasar cewek! Pilih tas yang warnanya netral dong.”
“Hitam itu suram kakak, tanpa warna keindahan.”
“Tau apa kamu? Hitam itu netral tapi juga kontras. Hitam juga
berani!”
“Bukannya merah ya yang berani?”
“Hitam juga kok.”
“Kakak beli es krim yuk disana? Boleh ya?” menunjuk mini market di sebrang jalan.
“Iya deh. Tapi jangan yang mahal! Bisa tekor kita.”
“Kakak sok nasehatin nih. Selama ini khan juru uangnya aku.
Kakak tuh yang sering minta uang!”
“Hhehe.. Iya deh kakak kalah.”
“Aku duluan ya kak. Kejar aku!”
“Ngga ah, kayak anak kecil.”
“Terserah, dada kakak. Kalau Arinda pergi jangan kangen ya.
Hhehe.” berlari menuju ke jalan sebrang.
“Ngomong apa sih dia. Pergi kemana coba? Dari sini aja
kelihatan jelas.” gerutu Arial.
Namun tidak lama kemudian . . . . . . .
“KAKAK!”
Namun tidak lama kemudian . . . . . . .
“KAKAK!”
CIIIITTTTTT... BRUKKKKKKKKK...
Arial terbelalak tidak percaya. Adik kembarnya yang berlarian
sambil membawa kantung plastik berisi sepatu dan juga buku tulisnya itu
tertabrak oleh mobil mewah. Karena jalanan yang sedikit lengah pengendara
itu tancap gas meninggalkan tubuh kurus jangkung Arinda yang bersimbah darah
ditemani serakan buku tulis. Arial berlari mendekati adiknya. Darah Arinda
membasahi seluruh dress birunya. Dress itu telah berubah warna, begitu
juga dengan kemeja kotak Arial yang terus menggendong Arinda di punggungnya. Sesampainya
di rumah sakit Arial merasa cemas dan takut. Ia tidak berdaya.
Kondisi Arinda sangat parah, ia harus dioperasi segera. Namun
Arial tidak memiliki uang sebanyak itu. Memutar otak Arial pulang dan mengambil
uang tabungan mereka berdua. Setelah dihitung uang itu masih belum cukup.
Sangat tidak cukup.
Arial kebingungan, sampai akhirnya ia beranikan diri meminjam
uang pada bos-bosnya. Babe Halim tidak bisa meminjmkan uang sebanyak yang Arial
mau. Begitu juga dengan yang lainnya. Sampai akhirnya Arial memutuskan menemui Paman
Chon. Preman yang menampung gelandangan dan juga memiliki bisnis rahasia.
Rumahnya tidak jauh dari rumah Arial dan Arinda. Paman Chon memang kaya dan
serakah.
Sambil terengah-engah, “Paman, saya ingin meminta bantuan
dari paman.”
Panjang lebar Arial bercerita dan memohon pada Paman Chon,
namun Paman Chon hanya cuek dan menganggap Arial sebagai angin lalu.
Arial pun keluar dari rumah Paman Chon dengan lesu. Sampai di
halaman depan ia bertemu dengan teman Paman Chon. Orang itu terus melihat Arial
dan akhirnya mengajaknya kembali ke dalam rumah. Orang itu meminta Arial duduk
di ruang tamu sedangkan dia dan Paman Chon berdiskusi di ruang tengah.
“Siapa dia Chon?”
“Dia tetanggaku, kenapa kau ajak dia kembali kesini?”
“Kali ini kita punya orderan, dan dia sangat cocok. Ada orang
kaya yang sangat membutuhkan, dan dia sepertinya berani membayar berapapun.”
“Apa dia tahu cara kita mendapatkannya?”
“Tentu saja tidak! Dia menganggap ini bisnis bersih.”
“Baguslah. Jadi kau ingin dia?”
“Tentu saja. Usia anak orang kaya itu sama dengan dia. Dan
tubuhnya juga kurang lebih sama.”
“Baik, kita ambil anak itu. Toh dia anak yatim piatu.”
Paman Chon menemuai Arial. Dia bersedia meminjami Arial uang
sebagai biaya rumah sakit adiknya asal Arial mau bekerja untuknya. Tanpa
berpikir panjang Arial menyetujuinya dan pergi bersama Paman Chon ke rumah
sakit.
“Baiklah, aku akan membayar uang mukanya terlebih dahulu.
Yang penting adikmu bisa dioperasi hari ini. Kalau kerjamu bagus, akan ku bayar
sepenuhnya.”
“Terimakasih paman.” Arial menciumi tangan Paman Chon sambil
terisak dalam tangisnya.
“Temui dulu adikmu. Pekerjaanmu tidak mudah. Kita harus pergi
ke luar kota. Dan mungkin akan agak lama.”
“Berapa lama paman? Saya ingin menjaga Dinda dan bersama-sama
mendaftarkan diri ke SMA yang kami mau.”
“Tenang saja, kalau kerjamu bagus kita akan cepat pulang dan
mendapatkan banyak uang.”
Arial pun mendatangi Arinda yang sudah bisa membuka mata
sejak satu jam yang lalu. Arinda terus saja memanggil nama kakaknya.
“Arinda, kamu harus kuat. Nanti malam kamu akan menjali
operasi. Maaf kakak tidak bisa menemanimu. Kakak harus pergi. Kalau kerjaannya
sudah selesai kakak akan kembali. Dinda cepat sembuh ya? Kamu pasti bisa
menjalani ini semua. Kakak tau kamu lebih kuat dibandingkan kakak. Nanti ketika
pulang kakak akan memebelikanmu es krim yang besar.” Arial memegangi tangan
adiknya kuat sambil larut bersama air matanya yang terus membasahi pipinya.
Sambil terpatah-patah dan berlinang air mata, “Kakak… mau…
kemana…?”
“Kakak bekerja dengan Paman Chon untuk membiayai
pengobatanmu. Paman Chon sangat baik, dia sudah membayar uang muka rumah sakit
ini.”
“Kakak… jangan… lama… Dinda takut… sendirian…”
“Iya Dinda, kakak janji. Kalau kakak tidak cepat kembali,
kamu harus yakin suatu saat nanti dengan cara apapun kakak akan tetap kembali
dan berada di dekatmu untuk menjagamu – hidup atau mati.”
Arinda menangis sejadi-jadinya. Perawat yang berada di
belakang Arial mendekati Arinda dan memberikannya suntikan bius. Arinda pun
tenang dan mulai merasa ngantuk. Ia membiarkan kakaknya pergi. Ketika kakaknya
keluar dan menutup pintunya kembali semuanya gelap.
Arial dibawa keluar kota. Ia dibawa ke sebuah gedung tua
dengan berbagai macam peralatan di sebuah ruangan. Terkadang Arial mencium bau
amis darah.
“Paman apa yang harus saya kerjakan?”
“Itu ada orang disana.” menunjuk seseorang yang memakai
sarung tangan latex dan masker. “Kamu
kesana dan dia akan memberitahumu. Tenang saja, pekerjaan ini akan membuat
adikmu selamat. Cepatlah kesana. Semakain cepat semakin baik.”
Arial mendekati orang
asing itu. Ketika sudah dekat dengan sigap orang itu membungkam mulut Arial
dengan sebuah kain. Arial merasa mabuk, semuanya berputar-putar di atas
kepalanya. Bayangan Arinda yang berlarian terus bermunculan. Alm. Ayah dan
Ibunya pun seperti berada di depan mata. Beberapa detik kemudian Arial tidak
mampu berbuat apa-apa. Gelap, tanpa warna! Hingga akhirnya, beberapa menit
kemudian kegelapan itu berubah menjadi napas yang hilang. Napas Arial terhenti.
Arial terjebak dalam organisasi gelap penjualan organ tubuh.
Ia pun dibunuh. Semua organ-organ tubuh Arial yang berguna diambil. Arial yang
dulu mengikuti perintah guru biologinya untuk membedah katak dan mengamati
organ tubuhnya, kini merasakan hal yang sama bahkan sangat tragis. Paman Chon
mendapatkan uang yang berlimpah. Sedangkan Arial tewas tanpa jasat yang utuh.
Operasi berjalan sukses, pagi harinya Arinda mulai membaik.
Ia sudah bisa makan sendiri. Namun ia cemas dan gelisah. Kakaknya tidak kunjung
kembali. Seminggu kemudian Arinda masih berada di rumah sakit. Ia sudah boleh
pulang, namun sisa pembayaran belum terlunasi. Paman Chon ingkar janji. Ia
tidak pernah kembali untuk melunasi biaya rumah sakit. Arinda cemas, ia bingung
harus berbuat apa. Hingga akhirnya, seseorang datang dan mengetahui kisah
Arinda. Ia kasihan kepadanya. Ahkirnya ia memutuskan untuk mengadopsi Arinda
dan membayar semua biaya yang masih belum terlunasi. Arinda meminta agar
kakaknya Arial juga diadopsi oleh ibu
yang baik itu apabila ia telah kembali. Akhirnya Arinda telah resmi menjadi
anak angkat dari pasangan Bapak Anwar dan Ibu Anisa. Bapak Anwar adalah
pengusaha yang kaya raya. Bahkan usahanya telah melebar hingga ke luar negeri. Usia
pernikan pasangan ini sudah 20 tahun. Namun tak kunjung juga diberi momongan.
Mereka sangat bahagia bisa mengadopsi Arinda dan juga berharap Arial segera
kembali agar mereka juga bisa mengadopsinya.
Ayah angkat Arinda memiliki mata-mata dang ajunan
dimana-mana. Karena Arial tidak kunjung kembali dan tidak pernah memberikan
kabar akhirnya Pak Anwar turun tangan bersama dengan ajudan dan mata-matanya
itu. Setelah ditelusuri, akhirnya Arial ditemukan kabarnya. Calon ayah angkat
Arial sangat terpukul dan kaget. Ia tidak bisa menceritakannya sekarang. Ia
baru bercerita pada istrinya. Mereka berdua berjanji akan menceritakannya
setelah Arinda siap. Mungkin 2 tahun lagi. Tepatnya ketika Arinda berumur 17
tahun. Arinda baru saja menikmati masa SMA-nya. Ia di sekolahkan di sebuah
sekolah ternama di Bandung. Arinda diboyong ke kota Bandung dan tinggal bersama
orang tua barunya. Setiap malam Arinda menangis. Walau bagaimanapun ia tetap
merindukan kakaknya. Paman Chon dan sindikatnya ditangkap serta dipenjarakan
atas semua perbuatannya. Bisnisnya yang dibangun selama 10 tahun itu
dihancurkan.
16 Juli 2012
Arinda merasakan hangatnya sang mentari pagi. Hari ini dia
dalam masa orientasi di sekolah barunya. Sekolah yang bekerja sama dengan
Negara Jerman ini tidak neko-neko dalam kegiatan MOS. Ia hanya berpakaian SMP
biasa dengan tas yang terbuat dari kardus. Semua terlihat gembira. Arinda diterima di kelas favorite. Dengan keuletan yang ia dapatkan bersama kakaknya
dulu, akan selalu menjadi bekal hidupnya.
Ketika memasuki kelas ia melihat seorang laki-laki yang
sekilas seperti kakaknya. MOS dimulai, kakak-kakak yang mengaku dirinya sebagai
senior pun datang dan memberi pengarahan. Mata Arinda masih saja tertuju pada
laki-laki itu. Ketika mata mereka bertatapan, ia seperti melihat mata kakaknya
yang selama sebulan ini belum juga kembali. Arinda menyambut MOS dengan suka
cita. Ketika sedang di taman, Arinda ditabrak oleh seseorang dari belakang.
Dengan sigap, sepasang tangan yang kuat menopang punggung Arinda. Seseorang
yang menabrak Arinda tanpa sengaja pun meminta maaf.
“Maaf, aku tidak sengaja. Tadi aku sedang terburu-buru hingga
tidak melihatmu berjalan menuju sana. Maafkan aku.”
Setelah posisi Arinda kembali berdiri, ia pun memaafkan
temannya itu dan tersenyum ikhlas. Senyuman yang sangat manis. Setelah temannya
itu berlalu ia melihat sosok yang menolongnya tadi.
“Terimakasih.” ucap Arinda sambil membungkukkan sedikit
badannya.
“Okey, sama-sama. Lain kali hati-hati ya?”
Sosok itu kemudian sedikit mengacak rambut Arinda dan
berlalu. Arinda kaget. Ia seperti sedang berhadapan dengan kakaknya – Arial.
“Tunggu!” Arinda pun mengejar sosok itu.
Sosok itu berhenti dan memutar badannya ke belakang, “Ada
apa?”
Arinda yang sudah berada tepat dihadapan sosok itu terus
mengamatinya. Benar-benar mata kakaknya. Ia seakan melihat kakaknya yang terus
memandang dirinya. Karna terlalu lama berada dalam lamunan sosok itu kemudian
menjentikkan jarinya. Dan Arinda pun kembali ke dunia.
“Kenapa… kenapa kamu tadi menolongku?”
“Entahlah, aku hanya merasa ingin menjagamu saja.” ucap sosok
itu sambil tersenyum.
“Kita baru bertemu khan? Kenapa bisa kamu bilang seperti
itu?”
“Aku juga bingung, namun mataku selalu ingin melihat kamu
bahagia. Dan juga jantungku selalu berdegup kencang ketika kamu dalam bahaya.”
“Aku bingung. Sungguh.”
“Aku juga, tapi aku seperti telah lama mengenalmu. Walaupun
baru kali ini aku bertemu denganmu.”
“Oiya, kenapa kamu tadi tidak ikut kegiatan olah raga?”
“Aku? Aku masih belum kuat. Disini (menunjuk letak
jantungnya). Masih ada bekas operasi.”
“Operasi?”
“Ya. Pertengahan Juni lalu aku melakukan operasi jantung dan
juga mata.”
“Mata? Jantung?”
“Iya, sejak kecil aku memiliki kelainan jantung. Dan ketika
aku kelas IX mataku terkena tumor dan akhirnya aku buta.”
“Apa kau tau pendonor mata dan jantung itu?”
“Entahlah. Kata ibuku, ini dari seorang anak yang meninggal
sebelum aku dioperasi.”
“Aku penasaran dengan pendonornya.”
“Begitu juga aku. Mau ke kantin? Aku ingin membelikanmu es
krim.”
“Es krim? Kenapa?”
“Sepertinya mata dan jantungku yang mengatakannya.”
sambungnya sambil tersenyum dan menggandeng tangan Arinda.
Dalam gandengan itu Arinda merasa sangat nyaman dan hangat.
Ia berjanji dalam hati. Dimanapun kakak
berada aku akan meneruskan cita-cita kita. Bukankah kita dulu akan selalu
bersama demi meraih cita-cita dan mimpi kita? Kakak aku berjanji, SMA ini aku
akan tetap menjadi yang terdepan, aku akan tetap mempertahankan angka 1 di dalam
raport ataupun piagam penghargaan. Kakak, aku akan membuatmu bangga. Dan di
masa putih abu-abu ini aku bukan Arinda yang manja. Disini di jantung ini, masih ada kakak yang terus menyemangatiku. Kita terlahir dari satu ovum yang
sama. Apapun yang kakak inginkan akan aku wujudkan untukmu. Aku menyayangimu
kakak. Aku sangat merindukan Kak Ial yang jelek dan selalu merasa ganteng. Aku
berjanji untuk membuat semua orang bangga. Pesan dari kakak akan selalu aku
ingat. Disini! Di 5 cm di atas keningku. Biarkan dia terus menggantung agar aku
bisa melihatnya dan bekerja keras untuk menggapainya. Kalimat indahmu juga akan
selalu mengalir dalam darahku. “Jadilah seseorang yang bermanfaat bagi
orang lain, namun jangan pernah mau untuk dimanfaatkan.” Terimakasih Kak Ial. Adikmu menyayangimu.
Setelah sampai di kantin. Sosok itu melepas gandengan dan pergi sendiri ke dalam sana. Tidak lama kemudian ia muncul membawa sesuatu di tangannya.
Setelah sampai di kantin. Sosok itu melepas gandengan dan pergi sendiri ke dalam sana. Tidak lama kemudian ia muncul membawa sesuatu di tangannya.
“Ini es krimnya, aku belikan yang paling besar.”
“Kenapa harus sebesar ini? mana bisa aku menghabiskannya?”
“Karena aku telah berjanji. Oh iya, panggil aku Iqbal. Nama
kamu?”
“Kamu ini aneh ya? Berjanji pada siapa coba? Namaku Arinda,
panggil saja Dinda.”
“Okey aku pergi dulu. Habiskan es krimnya dan jangan nakal.”
“Iya.” Arinda masih saja tertegun dan bingung.
“Iya Dinda, kakak
janji. Kalau kakak tidak cepat kembali, kamu harus yakin suatu saat nanti
dengan cara apapun kakak akan tetap kembali dan berada di dekatmu untuk menjagamu
– hidup atau mati.”