Hitam Putih part 04

Satu, dua, tiga . .
Lima hari sudah aku menjalani masa orientasi ini. Dan besok hingga lusa adalah puncak ketegangan yang makin mengembang di dalam ragaku. Hari ini aku bingung dan kacau. Banyak peraturan dan juga tugas yang tercatat dalam buku catatan mini, khusus untuk kegiatan MOS selama seminggu penuh ini. Besok kami akan menginap. Menghabiskan malam bersama angin gedung-gedung tua. Sekolahku memang masih terlihat jadul dengan banyaknya ruang bekas sekolah Belanda yang masih dipertahankan untuk ciri khasnya. Pukul 23.45 semua tugas, alat, dan peralatan yang harus dibawa sudah masuk dengan rapi ke dalam rensel sebesar 'gentong' berwarna biru milik kakak laki-lakiku yang dulunya adalah seorang aktivis pecinta alam di masa SMAnya dulu. Siap tak siap aku harus menjalaninya besok.

Matahari pagi ternyata enggan memamerkan sinarnya seperti kemarin. Mendung, walaupun musim masih berstatus kemarau. Semua berbeda. Jika kemarin aku masih santai, khusus hari ini acara dimulai pk 05.15. Gila rasanya! Namun inilah adat mereka menyambut siswa barunya.

Pk 05.20 aku baru sampai di depan gerbang megah milik sekolah 'terpopuler' di area tempat tinggalku. Muka sangar senior rasanya telah siap menerkam kesalahan fatalku ini.

"Dik . . . !! Kemarin denger nggak jam lima seperempat harus udah dateng?! Goblok atau budek?" ucap pedas Kak Dima. Ya itulah Kak Dima. Seniorku yang cantik namun galak setengah mati. Tak jarang kata-kata kasar keluar untuk mengecilkan mental kami para junior 'bersalah'. Baru memasuki gerbang saja aku sudah diambil alih olehnya.
"Maafkan saya kak!" daripada memberi alasan dan kembali disalahkan, akhirnya tiga kata itu yang bisa keluar dari mulut tipisku.
"Terus mau ngapain kamu disini?! Mejeng hah . . ?! Selama enam hari ini baru dua kali kamu bisa berangkat pagi!! Dasar lemot! Saudaranya keong racun ya?!"
Aku diam tanpa jawaban sampai . . .
"Jawab tolol!!" bentakan dashyat tepat di depan wajahku dengan jarak kurang lebih 10 cm. Kaget dan reflek dengan satu jawaban.
"Maaf kak, maafkan saya?!" ketika berbicara 1 kalimat ini ternyata beberapa butir air mataku jatuh tanpa malu.
"Dima, aku ada perlu sebentar!" seru seorang laki-laki yang entah siapa beseru di belakangku. Namun yang jelas aku berterima kasih padanya. Karna dia Kak Dima pun berlalu dari hadapanku dan berjalan menuju sumber suara itu. Saat itu aku juga mengeluh dalam batin. 'Senior udik! Dia pikir aku gak berat gendong rensel segede ini sambil tetap berdiri dengan posisi siap sempurna? Ampun dah. Nyokap aja nggak pernah bentak aku kok! Eh, ni senior malah bikin aku nangis kayak sekarang.'
Selesai mengumpat dan bersuara dalam hati. Kak Dima kembali muncul di hadapan mataku.
"Sekarang cepat kamu lari ke ruang kelas. Tapi ingat urusan kita belum selesai! Paham gak?"
"Paham kak! Terima kasih untuk tegurannya kak. Saya permisi." jawabku lembut dan ramah. Basa-basi sekali rasanya. Namun aku memang harus hormat pada seniorku ini. Setelah besalaman palsu aku segera berlari keledai menuju kelas yang telah ku tempati selama lima hari jalan menuju hari ke enam.

Tertarik habis nafasku di sepanjang perjalanan. Dan sekarang oksigen rasanya telah pelit berbagi padaku. Di kelas ada Kak Dimas, kakak pengampu kelasku bersama Kak Mita di kelas X.B. Kelas unggulan yang katanya tempat berkumpul 32 anak terpandai angkatan tahun ajaran ini. Kak Dimas yang kocak menyapaku dengan guyonannya.
"Pagi dik? Nggak bisa berangkat lebih siang to? Kalau nggak keberatan Lya bisa nebeng Aak Imas kok berangkatnya . . ?"
Dasar Kak Dimas! Sejak hari Selasa dia memang suka menggodaku dan menanti surakan dari teman satu kelasku sebagai imbalannya!
"Huahahaha...!!" tawa nakal teman-temanku yang begitu serempak.
"Sekarang kamu bisa duduk dik. Pasti tadi udah dijemur sama Kak Dima kan?" ucap sopan dari Kak Mita. Kak Mita memang kakak terlembut, terbaik, termanis, dan juga termuda dibandingkan seniorku yang lain. :)

***

Rutinitas MOS siang hari ke-6 telah terlewati. Mungkin banyak kesalahan yang telah ku perbuat. Dan sekarang sudah pukul 17.00 detik-detik evaluasi pun datang di depan jiwa. Semua temanku diam. Tegang menanti bentakan dan sindiran runcing yang mungkin nanti dapat mengukir darah dalam batin kami para junior.

Bruaakkk . . .
Suara pintu yang didobrak paksa dari arah luar.

"Semua berdiri di belakang! Baris menjadi tiga bersaf!!" bentak Kak Ady sambil membenarkan letak kacamata yang sebenarnya tak bergoyah sedikitpun dari wajah sangarnya itu.
"Lemot! Cepetan bisa nggak?!" imbuhan bentakan dari Kak Dima.

Semua hanya menurut. Bahkan Kak Dimas hanya bisa terdiam di ujung depan sebelah meja guru.

"D235B13!! Loe becus nggak to jadi pengampu kelas ini?" teriak galak Kak Ady sambil menunjuk tubuh Kak Dimas. Untuk pengampu kelas memang memiliki nama tugas masing-masing dan Kak Dimas dengan NTA (Nama Tugas Abdi) D-dua-tiga-lima-B-tiga belas.
"Saya sudah bekerja sebaik mungking! LOE YANG GAK BECUS!! Mimpin pengampu kelas yang cuma 20 aja masih ada yang bodoh kayak GUE. Lha sekarang aku ngampu 32 anak bau kencur LOE salahin TERUS!"
Jawaban itu membuat kami terperangah. Kak Dimas yang gokil bisa-bisanya mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan penekanan kata hingga kalimat yang terdengar menantang.
"Terus mau LOE apa?" bentak Kak Dima dengan penekanan pada kata 'loe'.

Suasana menjadi sangat mencekam karena berdebatan antara kakak pengampu kelas dengan kakak-kakak pengevaluasi.

〔dimana Kak Rama? Dan hal buruk apa lagi yang akan menimpa Lya?〕

.bersambung.