Sepasang sepatu sport hitam mulai berayun beriringan. Melangkah lunglai di dalam ketakut. Rindang pohon pun tak mampu membuatku tenang, walau itu karna belaian lembut sang bayu. Jarak sebenarnya mungkin hanya sekitar 200m dari kelasku. Namun jalan yang aku tempuh kurang lebih 550m jauhnya. Tak ada jalan pintas. Yang ada hanya taman sekolah, gedung, pagar pembatas dan jalan berkelok. 15 menit sudah aku berjalan. Dan pada menit ke-19 akhirnya aku sampai di lapangan yang Kak Dima maksud.
Memang benar, lapangan 1.3 adalah lapangan volley dengan fasilitas wall climbing. Salah satu fasilitas pendukung untuk anak-anak pecinta alam.
Banyak yang sedang berkumpul. Entah memang benar-benar ingin bermain atau hanya melihat saja. Yang jelas akan benar-benar memalukan apabila Kak Dima sudah sampai di sini.
20 menit aku menunggu di tengah lapangan. Semakin lama semakin banyak pasang mata yang memperhatikanku dengan dandanan aneh ini. Bahkan ada beberapa yang bersorak.
"Woi ada anak ilang tu. Ada yang mau pungut nggak? hhaha"
"Palingan juga Dima yang buang tu anak ke sini." saut teman yang lain.
** kelas X-B **
"Sok benar anak itu! Dia pikir dia sehebat itu apa?" kata Kak Dima pada semua orang di kelasku setelah aku pergi.
"Udah lah Ma dia itu cuma ingin dipanggil super hero." imbuh Kak Ady.
"Lalu mereka yang berdiri di belakang itu mau ngapain? Temennya di siksa kayak gitu nggak ada yang mau mbela!! Ternyata kelas favorit isinya PENGECUT doang ya!?" murka Kak Dima kemudian.
Semua hanya bisa diam. Tak ada yang berani bergerak sedikitpun. Walau badan sudah tak mampu namun mereka tetap berdiri tegak. Hebat! (Secara fisik memang hebat, tapi sosialnya.. Hemm, diragukan!)
Kak Ady yang dari tadi duduk pun sudah merasakan jenuh. Capek dengan kelakuan junior 'ndablek' yang berjajar rapi di belakang sana. "Dima cukup! Masih banyak kelas yang harus kita evaluasi. Biarkan mereka merenungi semuanya sendiri! Enek aku lama-lama disini!"
"Okey, semua boleh duduk! Dan yang gak tau malu silahkan keluar dari kelas ini untuk mengadu pada bapak/ibu guru!"
"Nah, gitu dong dari tadi! Aku keluar duluan."
DaArrR . .
Kak Ady pun keluar dengan membanting pintu. Kemudian Kak Dima menyusul dari belakang.
"Pikir tu apa kesalahan kalian! Dasar GOBLOK!!" kata Kak Dima sebelum menghilang di balik pintu.
** lapangan 1.3 **
25 menit kemudian Kak Dima baru muncul. Dan keringat dingin pun kembali menyelimuti tubuhku secara berlebih. Di belakang Kak Dima masih ada Kak Osa dan Kak Melati. Tiga macan lapar yang mencari mangsa.
Setelah sampai di tengah lapanganpun mereka berjajar rapi di depan ku. 'Oiya, dimana Kak Ady?' batinku kemudian.
"Oh, ternyata si lelet yang jadi pahlawan?" ucap Kak Osa memulai pembicaraan.
"Tapi kamu kemarin juga bilang naksir dia khan?" ledek Kak Melati.
"Idih, anak lelet gini! Nggak banget lah Mel!"
"Hei, kita mau hukum anak ini! Bukannya malah curhat!"
"Santai Ma, anak lelet ini biar aku sama Melati aja yang urus. Ya nggak Mel?"
"Iya Osa ganteng! hhaha"
"Ya udah, aku mau ke tepi sana dulu." ucap Kak Dima lirih sambil menunjuk tempat dekat anak-anak PA berkumpul.
"Tapi jangan PDKT sama brondong itu ya? hhaha" sahut Kak Melati dengan lirih pula.
"Anak manis muka kamu pucat bener? Tapi jangan harap aku akan baik hati sama kamu! Sekarang ambil posisi push up!" ucap sinis Kak Osa saat Kak Dima dan Kak Melati sedang berbisik.
Lemah rasanya untuk hanya sekedar bergerak. Sakit sekali! Akhirnya dengan sedikit ku paksakan badan ini mau juga untuk merubah posisi. Namun saat itu pandanganku mulai sedikit kabur.
Setelah Kak Dima benar-benar pergi Kak Melatipun kembali pada tugasnya "Berapa seri Sa? 5 atau 7?"
"Satu cukup kok Mel."
"Cuma satu?!"
"Udah lah satu juga dah bikin dia kapok!"
"Ya udah deh. Heh KEONG!! Push up satu seri!"
"I... iy.. ya.. kak." sahutku terbata.
Push up ku yang pertama terasa sangat berat. Tanganku mulai gemetaran tak karuan. Yang kedua, kepala ini mulai tak seimbang. Dan baru yang ketiga ada seorang berkata dari arah belakang.
"Kak Osa, Kak Melati.. Dia lagi sakit deh kayaknya! Lebih baik cukup aja."
"Masa sih? Ya udah lah. Sa kamu aja yang nyuruh dia."
"Sekarang kamu berdiri!" teriak kencang Kak Osa.
"Aku bantu dia ya Kak?" tanya sopan dari orang itu lagi.
"Terserah kamu lah." jawab Kak Osa enggan.
Orang itu membantuku berdiri. Menatihku dari arah belakang. Dengan susah payah badanku akhirnya tegak kembali karna bantuan orang itu juga. Kemudian aku mencoba menoleh ke belakang untuk melihat wajah penolog itu. Namun ternyata semua berputar hebat. Kakiku lemah tak bertenaga. Semua kemudian menjadi gelap. Tangan orang itu masih terasa menangkap tubuhku ketika badanku ambruk tak berdaya. Dan setelah itu aku tak merasakan apapun. Entah apa yang terjadi.
***